Rabu, 03 September 2008

Analisis wujud campur kode pada anak usia 5 tahun di desa torbang kec. Batuan sumenep


ANALISIS WUJUD CAMPUR KODE PADA ANAK USIA 5 TAHUN DI DESA TORBANG KEC. BATUAN SUMENEP
(Tugas Diajukan Untuk Memeroleh Nilai Tugas UAS Semester Genap)

Oleh:
Iwan Sugianto
(2006210002)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA
2008

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah “condition sine quanon”, atau sesuatu yang harus ada dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan alat komunikasi antar masyarakat. Bahasa memegang peranan penting karena bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok social. Bahasa menunjukkan perbedaan antara kelompok yang satu dengan yang lain, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya masing-masing.
Di dalam keluarga peranan bahasa sangat penting yaitu sebagai alat interaksi antar anggota keluarga atau dengan lingkungan sekitar. Dalam keluarga yang menerapkan Bahasa Indonesia kepada keluarganya atau kepada anaknya yang tinggal disuatu daerah yang mempunyai bahasa daerah sendiri (Madura) maka saat berinteraksi dengan anggota keluarganya atau lingkungannya baik disengaja atau tidak disengaja akan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa campuran atau untuk memperjelas apabila ada bahasa yang tidak dimengerti atau sulit dipahami oleh keluarga atau masyarakat sekitarnya.
Salah satu ciri masarakat kedwibahasaan atau multilingual adalah sulitnya memisahkan secara konsisten penggunaan bahasa- bahasa yang dikuasainya. Dalam keadaan masarakat yang demikian sering terdapat orang yang bahasa atau ragam bahasa yang satu terhadap bahasa yang lainya baik disengaja maupun tidak disengaja.
Campur kode (code mixing) merupakan salah satu fenomena yang dikaji dalam sosiolinguistik. Campur kode merupakan salah satu aspek tentang ketergantunngan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya di dalam masarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun menggunakan bahasa lain. Menurut suwito (1983: 75) campur kode memiliki hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturanya. Ciri lain dari campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri.
Menurut Chaer dan Agustin (1995:151) campur kode adalah penggunaan serpihan-serpihan dari bahasa lain yang bisa berupa kata, frase, dari bahasa daerahnya. Campur kode (code mixing) bisaanya terjadi dalam setiap peristiwa komunikasi. Termasuk dalam kehidupan sehari- hari asalkan partisipan yang terlibat mengetahui, memahami, serta memiliki kemampuan berbahasa lebih dari satu (bilingual atau multilingual). Demikian pula yang terjadi pada kehidupan keluarga yang akan kami teliti, dalam keluarga tersebut selain menggunakan Bahasa Indonesia mereka juga terbisa menggunakan bahasa daerah (Madura) sebagai bahasa sehari-hari. Jadi tidak menuntut kemungkinan adanya campur kode dengan Bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana wujud campur kode yang digunakan oleh anak dari keluaga bapak Moh. Rasuli dalam berinteraksi dengan keluarga atau dengan masarakat sekitar?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seperti apa wujud campur kode yang digunakan oleh anak dari kelurga bapak Moh. Rasuli dalam berinteraksi dengan keluarga atau masarakat sekitar.

1.4 Manfaat Penelitian
- Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi peneliti yang selanjutnya yang meneliti campur kode.
- Bagi peneliti hal ini sebagai patokan dari keberhasilan belajar.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kedwibahasaan
Kedwibahasaan bisa disebut bilingualisme. Masarakat Indonesia pada umunya tergolong masarakat dwibahasa. Mereka menguasai bahasa pertama (B1) bahasa daerah dan bahasa kedua (B2) bahasa Indonesia. Setiap bahasa yang bertemu dengan bahasa lain pasti terjadi kontak dan hal tesebut yang dikatakan sebagai terjadinya kedwibahasaan.
Lado (dalam Pranowo, 1996:8) menekankan bahwa seorang disebut dwibahasawan bila mereka memiliki kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Robert Lado hanya menekankan pada kemampuan berbicara dua bahasa. Padahal kemampuan berbahasa bukan hanya berbicara tetapi juga menyimak, membaca, dan menulis dengan masing-masing memerhatikan kaidah bahasa yang berlaku.
Mackey (dalam Pranowo, 1996:8) menekankan bahwa seseorang disebut dwibahasa asal mereka melakukan bahasa yang bergantian dua bahsa atau lebih. Jika dipandang dari salah satu sudut, pendapat ini tidak memberikan diskripsi secara jelas tentang kemampuan berbahasa mana yang dipakai secara bergantian, tetapi kalau dipandang dari sudut lain, pendapat ini justru memberikan kelonggaran untuk menentukan aspek kemampuan berbahasa manapun bagi seseorang asal sudah dalam dua bahasa, mereka sudah bisa disebut dwibahasawan.
Bomfiel (dalam Pranowo, 1996:8) menekankan bahwa seseorang baru disebut dwibahasawan apabila mereka memiliki kemampuan menggunakan dua bahasa yang sama baiknya. Penekanan pada pemakaian dua bahasa yang sama baiknya seperti yang dikemukakan oleh Bomfiel di atas memang merupakan sesuatu yang ideal, tetapi dalam kenyatannya sangat sulit untuk ditemuakn dalam masarakat perseorangan yang hidup di dalam situasi dan lingkungan yang selalu berubah dan berkembang.
Macnamara (dalam Pranowo, 1996:14 ) mengusulkan batasan bilingualisme sebagai pemilihan penguasaan (mastery) atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua, kendatipun tingkat penguasaan yang kedua itu hanyalah pada batas yang paling rendah.
Pranowo (1996:9) mengemukakan agar kita memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai batasan kedwibaasaan – setelah membaca pendapat pakar tersebut – seharusnya batasan yang diberikan mengandung unsur-unsur (a) pemakaian dua bahasa (b) dapat sama baiknya atau salah satu saja yang lebih baik (c) pemakaian dapat produktif maupun reseptif, dan dapat oleh seorang individu atau oleh masarakat. Dengan demikian batasan kedwibahasaan dapat diperbaiki menjadi pemakaian dua bahasa secar bergantian, baik secara produktif maupun deskriptif oleh seorang individu atau oleh masarakat.
2.2 Pengukuran Kedwibahasaaan
Setelah kita mengetahui apa yang dimaksud dengan kedwibahasaan maka selanjutnya akan dibicarakan teknik pengukuran kedwibahasaan. Kelly (dalam Pranowo, 1996:16) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dari masing-masing bahasa dengan menggunakan indicator elemen kebahasaan kemudian di kovelasikan untuk menentukan keterampilan berbahasanya.
Macnamara (dalam Pranowo, 1996:16) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dari aspek tingkat dengan cara memberikan tes kemampuan berbahasa dengan menggunakan konsep dasar analisis kesalahan berbahsa. Pengukuran dapat menggunakan indicator membaca pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan ketata bahasaan, interferensi leksikal B2, pemahaman bahasa lisan, kesalahan fonetis, makna kata, dan kekayaan makna.
Mackey (dalam Pranowo, 1996:17) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes keterampilan berbahasa masing- masing bahasa. Tes dilakukan secara terpisah (discrite point testing) untuk pemahaman dan pengungkapan baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis dari kedua bahasa. Berdasarkan tes tersebut hasilnya dibandingkan antara kemampuan berbahasa pertama dengan kemampuan berbahasa kedua pada setiap tataran kebahasaannya.
2.3 Alih Kode
Dalam masarakat bilingual diungkapkan bahwa mungkin tidak pernah seorang penutur dalam masarakat tutur yang demikian hanya mengunakan satu bahasa secara murni, tidak terpengaruh oleh bahasa lainnya yang sebenarnya memang sudah ada dalam masarakat penutur itu. Hal demikian yang disebut dengan gejala alih kode.
Appel (dalam Chaer dan Agustina, 1995:13) mendifinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”.
Pranowo (1995:13) menyatakan alih kode merupakan suatu proses peralihan dari kode bahasa yang satu ke kode bahasa yang lain. Fenomena ini disadari pemakainya oleh dwibahasawan dengan tujua-tujuan tertentu. Soepomo (dalam Pranowo, 1995:13) ada dua macam alih kode yaitu alih kode sementara, dan alih kode permanen. Alih kode sementara bisaanya terjadi apabila pemakai bahasa sedang mensutir kalimat B2 ketika sedang ber-B1, atau sebaliknya; atau pemakai bahasa sedang mengalihkan perhatian pada orang lain, sedang berpraktek ber-B2 ataupun sedang bersandiwara. Alih kode permanen terjadi karena perubahan relasi antara pembicara dengan mitra bicara.
2.4 Campur Kode
Peristiwa yang lazim terjadi pada masarakat yang bilingual adalah adanya campur kode dalam berkomunikasi. Campur kode sebagai salah satu fenomena yang terjadi pada pembelajaran B2 juga tidak mungkin dihindarkan. Campur kode ini merupakan fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa lain secara konsisten. Karchu (dalam Pranowo, 1996:12).
Chaer dan Agustina (1995:164-165) mengemukakan campur kode adalah penggunaan serpihan-serpihan dari bahasa lain yang bisa berupa kata, frase, dan dalam berbahasa Indonesia menyelipkan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode.
Pranowo(1996:12) mengemukakan ciri-ciri khusus adanya campur kode antara lain adanya ketergantungan yang ditandai adanya hubungan timbal balik antara peranan (siapa yang memakai) dan fungsi (apa yang hendak dicapai oleh pembicara melalui ujaran) bahasa. Ciri lain adanya campur kode adalah adanya unsur-unsur bahasa atau variasi bahasa yang satu menyisip di dalam bahasa lain dengan tidak lagi memiliki fungsi sendiri. Unsur itu telah menyatu dalam bahasa yang disisipi dan telah kehilangan fungsi aslinya yang secara keseluruhan hablur dan mendukung makna bahasa yang disispinya.
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masarakat tutur dan ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi keotonomianya, sedangkan kode-kode yang lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanya berupa serpihan-serpihan saja,tampa fungsi atau keotonominnya sebagai sebuah kode.
Menurut suwito (1982:78-80) wujud campur kode dibedakan menjadi berapa macam yaitu:
1. penyisipan unsur-unsur berwujud kata
2. penyisipan unsur-unsur berwujud frase
3. penyisipan unsur-unsur berwujud bentuk baster
4. penyisipan unsur-unsur barujud perulangan kata
5. penyisipan unsur-unsur berwujud ungkapan atau idiom
6. pentisipan unsur-unsur berwujud klausa.
2.4.1 Faktor Penyebab Campur Kode
Menurut suwito (1983:77) penyebab yang mendorong terjadinya campur kode antara lain adalah (1) identitas peranan, (2) identifikasi ragam, dan (3) keinginan untuk menafsirkan atau menjelaskan. Ukuran untuk idenitifikasi peranan adalah social, registral, dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hirarki status sosialnya. Sedangakan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain, dan sikap serta hubungan orang lain terhadapnya.
Pateda (1987:71) menjelaskan bahwa kebisaan bertalian dengan pengaruh bahasa ibu dan lingkungan si terdidik sehingga si terdidik terbisaa dengan pola-pola bahasa yang didengarnya. Oleh karena itu pola atau bentuk B1 sudah menjadi kebisaaan secara sadar atau tidak sadar, pola atau bentuk B1 tersebut masuk dalam tuturan B2 sehignga mengakibatkan terjadinya campur kode.
2.5 Hubungan Canpur Kode Dengan Kedwibahasaan.
Hubungan campur kode dengan kedwibahasaan sangat erat karena selain menyangkut pemakain dua bahasa pada tindak tutur juga terjadinya campur kode juga dipengaruhi oleh kedwibahsaan.
Kedwibahasaan secara umum menurut Mackey (dalam Chaer dan Agustina, 1995:112) adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Sedangkan campur kode menurut Chaer dan Agustina (1995:153) penggunaan serpihan-serpihan asri bahas lain yang bisa berupa kata, frase, dan dalam bahasa Indonesia menyelipkan bahasa daerahnya.
2.6 Hubungan Campur Kode Dengan Alih Kode.
Hubungan antara campur kode dan alih kode merupakan dua masalah dalam masarakat yang multilingual karena sama-sama terjadi kontak bahasa.Dalam penutur biligualisme juga tidak dapat dihindari alih kode dalam peistiwa komunikasi. Appel (dalam Chaer dan Agustina, 1995:7) Alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.
Sedangkan menurrut suwito (dalam Raharji, 2001:20) peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini menggunakan pendekatan diskriptif, pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh berbagai macam tutur kata dari anak yang diteliti. Penelitian diskriptif adalah penelitian yang berusaha mendiskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada sekarang (Sujana dan Ibrahim, 2001:64).
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah anak dari keluarga yang tinggal di desa torbang. Anak tersbut bernama Fitriya Anggrainy yang dipanggil Eni, Fitriya Anggraini adalah anak pertama dari pasangan Moh. Rasuli (Madura) dan Mugi Sri Astutik (Jawa). Karena Eni lahir dari keluarga campuran antar orang jawa dan orang madura sehingga dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan anggota keluarganya, selain Bahasa Indonesia mereka juga menggunakan bahasa madura dalam berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu besar kemungkinan terjadinya campur kode dalam keluarga tersebut bila berinteraksi dengan anggota keluarga atau lingkungan sekitarnya yang kebanyakan masarakat asli madura.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan metode sadap dari tutur anak yang kami teliti. Peneliti dalam melaksanakn metoede simak dan metode sadap berarti peneliti terlibat dalam percakapan untuk memunculkan terjadinya campur kode, dan kadang peneliti hanya menyimak pembicaraan yang sedang berlangsung.
3.3 Teknik Analisis Data.
Setelah mengetahui masalah yang ada, maka peneliti menggunakan jenis penelitian diskriptif. Sudaryanto (1988:62) berpendapat bahwa metode (sifat penelitian) deskriptif adalah cara kerja dalam penelitian yang semata-mata berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup apa adanya. Mengacu pada definisi tersebut peneliti akan mengkaji dan mendiskripsikan campur kode bahasa madura kedalam Bahasa Indonesia pada anak usia lima tahun yang bernama Fitriya Anggrainy.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Chaer, Abdul dan Agustina.1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada University press

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama. Yobyakarta: Gajah Mada University Press.

Sujana, Nana dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sumur Baru Algensindo

Suwito. 1983. Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henary Offset.

Tidak ada komentar: