Rabu, 26 November 2008

SUMPAH PEMUDA SEBAGAI PENGUTAMAAN BAHASA INDONESIA MENUJU PEMARTABATAN BANGSA

SUMPAH PEMUDA SEBAGAI PENGUTAMAAN BAHASA INDONESIA MENUJU PEMARTABATAN BANGSA
Oleh
Iwan Sugianto
Tahun 2008 merupakan tahun yang istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada tahun ini kita memperingati satu abad kebangkitan nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 10 tahun reformasi. Tiga peristiwa besar itu merupakan tonggak sejarah yang tidak akan pernah terlupakan oleh seluruh bangsa Indonesia.
Kebangkitan nasional yang diprakarsai oleh organisasi Boedi Oetomo itu telah membuka lembaran baru bagi tumbuhnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Sejak itu, di dada setiap pemuda Indonesia mulai berdetak keinginan untuk bangkit bersatu menggalang kekuatan guna membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Sejak itu pula, kesadaran akan pentingnya pendidikan pun mulai tumbuh karena disadari bahwa perjuangan membutuhkan orang-orang yang berpikiran cerdas dan bersemangat maju.
Berdirinya organisasi Boedi Oetomo telah mengilhami para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara untuk mendirikan organisasi-organisasi kepemudaan di wilayahnya masing-masing. Pada Oktober 1928 para pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan itu berkumpul, bermusyawarah, dan kemudian berhasil menyepakati tiga butir ikrar yang selanjutnya dikenal dengan nama Sumpah Pemuda, yaitu mengaku bertanah tumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ketiga ikrar yang menjadi tekad politik para pemuda Indonesia itu merupakan tonggak sejarah yang amat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia pada masa selanjutnya.
Ikrar ketiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, tahun ini memperoleh momentum karena Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Departemen Pendidikan Nasional telah bersepakat untuk menjadikan tahun 2008 sebagai Tahun Bahasa. Pernyataan tahun 2008 sebagai Tahun Bahasa kiranya sangat tepat karena—seperti yang telah dikemukakan di atas—pada tahun ini kebangkitan nasional genap berusia satu abad dan Sumpah Pemuda genap berusia 80 tahun.
Usia 80 tahun Sumpah Pemuda itu juga berarti 80 tahun sudah bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional. Namun, apakah itu juga berarti seluruh bangsa Indonesia telah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia? Apakah kita juga telah menempatkan bahasa Indonesia dalam posisi yang bermartabat untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada era global ini? Kinilah saatnya kita merenungkan kembali makna Sumpah Pemuda, dan kini pulalah saatnya kita bangkitkan kembali semangat persatuan dengan mengutamakan bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.
Pengikraran bahasa Melayu (tinggi) sebagai bahasa Indonesia 80 tahun lalu merupakan peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam proses perkembangan bangsa Indonesia yang bersatu. Sulit untuk dibayangkan apa yang akan terjadi dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan latar belakang kebahasaan yang ratusan pula dan menyebar di kepulauan Nusantara yang luas ini jika tidak ada satu bahasa sebagai alat komunikasi antara satu dengan lain
Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama.
Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.
Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global.
Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.
Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global."
Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat. "Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono memberikan catatan bahwa di satu sisi Bahasa Indonesia ber kembang pesat dan menjadi bahasa moderen. Itu terbukti dengan kesanggupan Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di sisi lain, seiring derasnya arus informasi global, Bahasa Indonesia mulai terpinggirkan dan kurang dihargai. Masyarakat lebih menggandrungi bahasa asing. Pusat Bahasa tidak memusuhi bahasa asing, namun menging inkan agar penempatan dan penggunaan bahasa asing, Indonesia, dan daerah sesuai proporsinya masing-masing. Untuk itu, sudah disiapkan pengaturannya dalam rancangan Undang-Undang Kebahasaan.
Kita juga terkadang timbul rasa ketidakbanggaan lagi dalam diri kita untuk menggunakan bahasa Indonesia. Itu terjadi karena para pemuda sudah lebih asik dengan dunianya sendiri yang lebih bangga menggunakan bahasa gaul. Bahasa yang entah dari mana datangnya, bahasa yang menjadi gambaran bagi mereka untuk dicap sebagai anak gaul. Sedangkan definisi gaul itu sendiri entah bagaimana? Kata secara yang tidak dipakai pada tempatnya dengan sengaja, yang digantikan akika belum lagi dengan kata sumpe lho, so what gitu lho dan istilah-istilah lain yang sering diucapkan dengan gaya emak-emak nelen biji salak yang diciptakan oleh siapa.
Perubahan yang terjadi dalam tatanan kehidupan global telah membawa pengaruh pada perilaku masyarakat dalam bertindak dan berbahasa, seperti yang tampak pada kecenderungan menggunakan bahasa asing di dalam pertemuan-pertemuan resmi, di media-media massa, dan di tempat-tempat umum. Kecenderungan tersebut merupakan indikasi bahwa ruang gerak penggunaan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri dan jiwa bangsa mengalami penyempitan.
Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.
Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).
Sebuah bangsa yang ingin maju harus beradaptsi dengan peerkembangan, namun bukan berarti kita meninggalkan identitas kita. Identits sebagai bangsa Indonesia. Belajarlah bahasa ingris, mandarin, jepang, arab, atau kalau bisa pelajarilah semua bahasa yang ada di dunia, tapi ini semua demi kemajuan bangsa ini yakni bangsa Indonesia. Dengan mengerti bahasa asing kita berrti mampu menyerap ilmu sehingga menjadi sebuah kebaikan dan kemajuan bangsa kita.
Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.