Rabu, 03 September 2008

Analisis Realisme Sosialis Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Pendekatan Marxisme)

ANALISIS REALISME SOSIALIS PADA NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Pendekatan Marxisme)
(Tugas Diajukan Untuk Memeroleh Nilai Tugas UAS Semester Genap)

Oleh:
Iwan Sugianto
(2006210002)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA
2008


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan tiruan atau pemanduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan yang ada (semi, 1990:43). Dalam hal ini termasuk juga penciptaan sebuah novel. Novel juga bias mempengaruhi seseorang untuk bias bertindak atau meniru gaya dari novel yang dibacanya. Dengan alasan itu maka novel juga dimamfaatkan oleh para pengarang untuk memperoleh masa baik dalam hal dunia politik atau yang linnya.
Keadaan geografis, politik, social juga kebudayaan dapat mempengaruhi hasil dari suatu karya sastr. Karya sastra yang dihasilkan dari pegunungan tentu berbeda dengan karya sastra dari lingkungan laut. Demikian juga dengan sastra dari suatu kerajaan berbeda dengan sastra dari suatu daerah liberal. Sastra dari budaya timur berbeda dengan sastra budaya barat. Begitu juga dengan karya sastra dari golongan kiri akan berbeda dengan karya sastra dari golongan kanan.
Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau pelurusan atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideology pengarangnya.
Marxisme merupakan filsafat kontradiksi, dan setiap usaha untuk menjelaskan teori Marxis secara rasional akan menghadapi inkontensi. Keyakinan akan keunggulan materi dan usaha simultan untuk menekankan peranan manusia dalam mengubah keadaan ini merupakan salah satu kontradiksi khas Marxisme.
Seandainya seseorang menerima bahwa kontradiksi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan metode dialektis, masalah baru akan muncul, yaitu pertanyaan apakah setiap kritik metode dialektis juga dimungkinkan. Berbeda dengan formalisme rusia atau strukturalisme prancis, teori-teori sastra Marxis memiliki filsafat normative dengan ide-ide ekplisit tentang masalah-masalah epistimologis.
Menurut Selden (1986:23) di antara kritik sastra, tradisi Marxis dapat dianggap sebagai memliki sejarah yang paling panjang. Tradis ini di awali dengan gagasan-gagasan mengenai peranan ideology dan kebudayaan yang dikemukakan pada tahun 1840-an. Salah satu pernyataan yang hingga sekarang banyak dikutip orang sekaligus mendasari argumentasi penelitian kritik social, adalah: “keberadaan social manusia menentukan kesadaran sosialnya, bukan sebaliknya”. Argumentasi ini juga yang dianggap teori Marxian selanjutnya, yang juga diadopsi oleh kritik cultural lain, termasuk teori-teori kontemporer.
Marxisme merupakan teori filsafat kontradiksi, dan setiap usaha untuk menjelaskan teori Marxis secara rasional akan menghadapi inkonsistensi. Keyakinan akan keunggulan materi dan usaha simultan untuk menekankan peranan manusia dalam mengubah keadaan ini merupakan salah satu kontradiksi khas Marxisme.
Sebagai salah seorang sastrawan Indonesia, menurut Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang figur transisional. Umurnya di sekitar angka yang sama dengan kebanyakan sastrawan Angkatan 45, tetapi latar belakang pendidikan (di mana ia tidak termasuk yang bersekolah pada sekolah menengah Belanda) dan latar belakang budaya Jawa-nya yang begitu kuat, membuatnya berbeda dengan anggota lain kelompok tersebut.
Identitas kepengarangan dari Pramoedya yang khas menjadi identitasnya yakni Pramudya Ananta Toer sering kali juga melatarbelakangi ceritanya dengan paparan sejarah maupun pengalaman hidupnya. Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar kota Blora tempat ia tinggal di masa kecil, serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Pramudya juga menulis cerita dengan latar belakang masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara lain melalui roman Perburuan. Karyanya yang terbesar—empat mahakarya yang merupakan tetralogi berjudul Karya Buru (meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca)—ditulis dengan latar belakang tamasya sejarah pergerakan nasional Indonesia 1898-1918. Menengok sejarah kembali ia lakukan untuk romannya yang terbit pertengahan 1990-an, berjudul Arus Balik, dengan latar belakang masuknya Islam ke tanah Jawa.
Kegandrungannya terhadap sejarah ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh teori sederhana Maxim Gorky: "The people must know their history" (rakyat mesti tahu sejarahnya). Pengaruh lain bisa disebutkan datang dari aliran realisme, terutama realisme sosialis. Bagi Pramoedya, salah satu watak realisme sosialis adalah "terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri".
Pengaruh realisme sosialis jelas bukan sesuatu yang mengada-ada, sebab Pramoedya sendiri kerap mengungkapkan antusiasmenya terhadap aliran tersebut. Ia antara lain pernah menulis makalah dalam kesempatan memberikan prasaran untuk sebuah seminar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 26 Januari 1963, dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Selain oleh Pramoedya, klaim realisme sosialis juga dipergunakan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai dasar kreatif mereka.
Dalam tradisi seni sendiri, kelahiran realisme sosialis sebagai aliran seni agak sulit ditentukan waktunya secara pasti. Akan tetapi, menurut Pramoedya, realisme sosialis diperkirakan muncul sekitar tahun 1905. Dalam hal ini Maxim Gorky adalah pengarang yang sering dianggap sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah, terutama di Eropa, tempat kelahiran tradisi realisme itu sendiri. Hal ini tampak misalnya dalam tinjauan Lukács atas epik Tolstoy, War and Peace. "Prinsip-prinsip yang ia (Tolstoy) ikuti dalam realismenya secara obyektif menampilkan suatu kesinambungan tradisi realis terbesar, tapi secara subyektif prinsip-prinsip ini ditimbulkan dari masalah-masalah pada masanya serta dari sikapnya terhadap masalah terbesar zamannya, yakni hubungan penindas dan tertindas di pedesaan Rusia".
Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sekitar tahun 1950-an, beberapa seniman kiri menemui Nyoto untuk menyatakan peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto sendiri dalam pidato sambutan pendirian Lekra yang berjudul Revolusi adalah Api Kembang menyatakan bahwa hanya ada dua pertentangan antara dua asas besar, yakni kebudayaan rakyat dan kebudayaan bukan rakyat, dan tak ada jalan ketiga. Dan baginya, tak mungkin kebudayaan rakyat bisa berkibar tanpa merobek kebudayaan bukan rakyat.
Akan tetapi, Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia menyenarai, jauh hari ke belakang tradisi sastra realisme sosialis Indonesia telah muncul melalui, antara lain, Sumantri dengan karya novelnya yang berjudul Rasa Merdika. Nama lain yang bisa disebut ialah Semaoen (Hikayat Kadirun) serta Mas Marco Kartodikromo (Student Hijo).
Realisme sosialis mereka memang bukan layaknya realisme sosialis yang berkembang kemudian. Keberpihakan mereka terhadap rakyat pekerja yang lemah lebih merupakan suatu komitmen sosial, dan bukan atas dorongan landasan-landasan yang lebih ilmiah seperti halnya realisme sosialis sebagai aliran yang datang lebih kemudian. Atau dengan kata lain, realisme sosialis mereka bisa dikatakan sebagai realisme sosialis "cikal bakal" yang masih bersifat sosialisme utopis. Sedikit membela mereka, Pramoedya mengistilahkannya sebagai kekeliruan, bukan kesalahan.
1.1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer?
2. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar?
3. Bagaimana Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis?

1.2. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis memberikan tujuan dari peneliti sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer.
2. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar.
3. Mendiskripsikan Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Realisme Sosialis
Realisme sosialis lahir sebagai penerus tradisi seni kritis, yang terutama merupakan bentuk baru dari tradisi realisme yang berkembang di Eropa. Realisme (klasik), dalam catatan Georg Lukács, muncul dalam atmosfer "membuyarnya awan mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik serta menciptakan suatu atmosfer yang akrab dan ’menarik’ di sekitarnya".
Dalam kalimat tersebut Lukács merujuk pada masa pertengahan abad kesembilan belas serta diterimanya filsafat Marxis. Filsafat sejarah Marxis, masih menurut Lukács, menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi manusia juga secara keseluruhan. Ia berusaha untuk menggali hukum tersembunyi yang mengatur seluruh hubungan manusia. Dengan cara ini, filsafat Marxis memberi jembatan ke arah sastra klasik dan menemukan sastra klasik yang baru: Yunani kuno, Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy. "Realisme terbesar yang sesungguhnya dengan demikian menggambarkan manusia dan masyarakat sebagai wujud yang lengkap, dan bukan semata-mata memperlihatkan satu atau beberapa aspeknya".
Dalam definisi Pramoedya, "Realisme sosialis merupakan metode yang meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan pandangan sosialisme-ilmiah. Dalam menghadapi persoalan masyarakat, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural fundamental".
Lebih lanjut, perkembangan sastra realis ini tidak bisa lepas dari cara pandang manusia terhadap sejarah yang berubah. Dengan begitu, realisme sosialis sesungguhnya merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempatnya berada. Hakikat dari realisme sosialis ini bisa dikatakan menempatkan seni sebagai wahana "penyadaran" bagi masyarakat untuk menimbulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai manusia yang terasing (teralienasi, dalam istilah Marxis) dan mampu menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki kebebasan.
Sebelumnya, sejarah dipandang sebagai suatu gerak yang tetap, mutlak, dan alamiah. Perkembangan selanjutnya dari cara pandang ini adalah munculnya pemahaman baru mengenai sejarah. Sejarah mulai dipandang sebagai perubahan yang justru tergantung kepada diri manusia itu sendiri.
"Para filsuf hanya memberikan interpretasi berbeda kepada dunia, yang perlu adalah mengubahnya", itu salah satu bunyi Tesa-tesa mengenai Feuerbach Marx. Manusia, dengan pikiran dan perbuatannya, mampu menentukan arah dari gerak sejarah. Sejarah tidak bersifat mandiri atau berada di luar jangkauan manusia. Dalam arah pemikiran seperti itulah realisme sosialis lahir untuk menempatkan kaum lemah (proletar, dalam bahasa Marxis) sebagai manusia-manusia penggerak dan penentu arah sejarah. Dan secara serta-merta aliran ini mengambil jarak atau berseberangan dengan tradisi realisme sebelumnya yang lebih memihak kepada golongan penguasa (atau borjuis), yang kemudian dikenal dengan nama realisme borjuis.

2.2 Tokoh-Tokoh Marxis
2.2.1 Karl Marx dan Frederik Engels
Menurut Marx susunan masyarakat dalam bidang ekonomi yang dinamakna bangunan bawah menentukan kehidupan social, politik, intelektual dan cultural bangunan atas. Sejarah dipandang sebagai perkembangan terus menerus; daya- daya kekuatan di dalam kenyataan secar progresif mereka dan ini semuanya menuju masyarakat yang ideal tanpa kelas. Dalam teori ekonominya Marx terutama menerangkan, bagaimana pertentangan antara kelas borjuis dan proletar yang jaya akan melaksanakan masyarakat tanpa kelas. Bagi Marx sastra sama dengan gejala-gejala lainnya mencerminkan hubungan ekonomi, sebuah karya sastra hanya dapat dimengerti kalau itu tidak dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.
Perhatian Marx terhadap sastra dapat dilihat dari surat-surat serta karangannya yang tanpak betapa Marx menghargai sebuah lukisan mengenai kenyataan masyarakat di dalam sastra yang sesuai dengan contahnya, namaun ia juga tidak buta terhadap nilai-nilai sastra. Ia menolak pandangan determinisik yang sempit, seloah-olah perubahan dalam bangunan atas langsung diakibatkan oleh perubahan bangunan bawah. (saraswati, 2003:37-38). Pendapat Marx dalam sastra yang masih abstrak di atas diuraikan lebih lanjut oleh Engels. Menurut Engels sastra adalah cermin pemantul proses social.
Dari idealisme jerman, Engels meminjam pandangan bahawa setiap tokoh dalam novel harus menjadi “sebuah tipe, tetapi juga sekaligus menjadi sesorang individu tertentu, seorang ‘yang ini’, seperti dinyatakan sendiri oleh hegel” (fokkema, 1998:111).
Di dalam suratnya kepada Margaret harknes yang di tulis pada awal april 1888, Engels berpendapat bahwa pemilihan karakter yang bersifat tipikal harus sesuai dengan persyaratan realisme. Dalam suratnnya yyang ditulis dalam bahasa ingris ini, Engels menulis suatu kalimat terkenal : “realisme, menurut saya, mengisyaratkan, di samping kebenaran yang terperinci, juga terproduksi tokoh yang khas dalam keadaan khas” (Marx dan Engels dalam fokkema, 1998:112).
2.2.2 Lenin
Lenin mengagumi karya seni yang agung dan merasa terganggu oleh permasalahan bagaimana ccaranya mendamaikan karya seni yang agung dengan revolusi. Lenin menentang pemutusan semua ikatan dengan karya sastra besar, yang mendorong untuk mengungakapkan kekagumannya akan karya sen yang agung dengan istilah-istilah politik.
Penilaian Lenin terhadap sastra besar didasarkan pada norma histories dan norma politis langsung. Lenin juga merupakan orang yang berjasa dan dapat dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis. Ia menulis lebih banyak daripada Marx tentang masalah-masalah teoritis yang berkaitan dengan sastra dan mengembangkan suatu visi yang jelas tentang sastra.
Prinsip-prinsip realisme sosialis dapat dilacak kembali pada teori Marxis mengenai proses perkembangan sejarah, lagi pula pada pandangan Lenin bahwa partai harus memainkan peranan sebagai pemimpin dalam proses tersebut. Pengarang-pengarangpun harus tunduk pada partai tersebut.
2.3 Perkembangan Sastra Marxis Di Indonesia Sosialisme Di Indonesia
Perkembangan Marxis di Indonesia tidak lepas dari masuknya moderenisme di hindia belanda pada awal abad ke-20, yang sekaligus sebagai moment kebangkitan nasional. Sosialisme, terutama dibawa ke indionesia oleh orang-orang belanda beraliran social-demokrat. Sneevliet, baar, brandsteder, dekker, dan c. hartogh adalah nama-nama belanda yang pertama-tama membawa sosialisme- yang didasari ajaran Marx dan Engels-ke bumi Indonesia.
2.3.1 Sneevliet dan Semaoen
Dari deretan nama tersebut, Sneevliet (1883-1942) bias dikatakan sebagai yang paling menonjol. Pada tahun 1914, ia mendirikan ISDV (indische social democratische vereeninging) di semarang ISDV merupakan organisasi pertama di hindia belanda yang berlandaskan Marxisme. ISDV memainkan peranan penting dalam mempengaruhi organisasi-organisasi pribumi yang telah berdiri sebelumnya, serta para aktivis pergeraklan untuk beralih menjadi lebih condong kepada sosialisme revolusioner. Dikalangan pribumi sendiri, semaon dan darsono dan sserikat islam (SI) semarang, bias dikatakan sebagai pelopor Marxisme di Indonesia.
SI semarang yang yang semula didukung oleh kaum menengah dan pegawai negeri, di tangan semaoen menjadi organisasi kaum buruh dan rakyat kecil. Perubahan-perubahan ini yang kemudia dipertajam oleh radikalisasi organisasi, tentu tidak terjadi begitu saja. Setidaknya ada kondisi-kondisi tertentu mengapa terjadi perubahan, sekaligus menjawab bagaimana sosialisme pertama kali berkembang di Indonesia.
2.4 Marxisme Dalam Karya Sastra Indonesia
Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan kondisi serta gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra sosialis banyak muncul di surat-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung) yang dikelola para aktifis oleh para gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta atau badan-badan tertentu (misalnya oleh kantor PKI). Berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia (teeuw dalam saraswati, 2003:51-58)

a. Tahun 20-an
Karya pertama yang dapat diperkenalkan dari sastra sejenis ini misalnya sebuah karya dari hadji moekti berjudul hikajat siti Mariah. Karya ini diterbitkan secara bersambung sebanyak 284 kali di surat kabar medan priaji bandung, dari 7 november 1910 sampai 6 januari 1912. cerita bersambung ini menggambarkan secara kompleks pertarunga social, politik dan ekonomi dari berbagai lapisan social.
Kadar sosialis yang lebih tinggi kemudian muncul dalam roman yang terbit di masa-masa selanjutnya. Satu contaoh yang menarik adalah hikajat kadirun (1920) karya samaoen. Hikajat kadirun menceritakan pemuda cerdas yang bernama kadirun yang bekerja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan colonial . seiring dengan kesadaran dirinya melihat kemiskinan dan penderiataan rakyat, ia mulai merasa kecewa dan mulai berhubungan dengan pemimpin-pemimpin PKI dan akhirnya menjadi pendukung penuh PKI.
Sastra sosialis kemudian ssemakin matang dan lebih jelas terbentuk dalam karya Marco Kartodikromo (mas Marco dalam saraswati, 2003:52) pada tahun 1914 ia menerbitkan novel yang kontroversial berjudul mata gelap yang penuh dengan pornografi. Novel lainnya adalah Student Hidjo (1918).
Metode dialektik dalam analisis permaslahan social masyarakat yang bias dipergunakan dalam karya sastra realisme sosialis moderen, mulai muncul dalam novel rasa Mardika tersebut. Itula antara lain beberap karya yang bias dikategorikan sebagai sastra sosialis atau sastra realisme sosialis dalam tahap awal. Perkembangannya kemudian mulai agak tersendat dan bias dikatakan mati mengingat penyaringan (sensor) pemerintah colonial yang semakin bertambah. Factor lain tentunya berhubungan dengan kegagalan pemberontakan PKI pada bulan November 1926 yang secara langsung maupun tidak langsung semakin membuat karya sastra perlawanan tenggelam. Kondisi kejatuhan sastra sosialis ini berlanjut sampai zaman perang (perang dunia ke 2 atau datangnya tentara jepang 1942). Sastra sosialis yang berwatak utopis telah menjadi catatan dalam sejarah, diganti oleh munculnya sastrawan-sastrawan yang memiliki landasan ideology yang lebih kuat dimasa selanjutnya. Ini terutama semakin meningkat di masa setelah perang, dan mencapai pembentukan barunya pada kelompok lembaga kebudayaan rakyat (Lekra), sebagai tahap berikutnya sebagai komitment sosial dalam seni dan karya sastra.
b. Tahun 50-an
Buyung saleh telah memperlihatkan sikap seorang Marxis pada tahun 1953 waktu dia merumuskan perbedaan antara pujangga baru dengan angkatan 45 dengan cara lain. Sastrawan pada saat itu chairil anwar, protestanisme dan katolisisme dan dari sifat keislaman hingga pada kesusastraan jembel dengan lunas-lunas realisme-sosialis. Pengarang lekra yang lain misalnya tokoh dari medan bakri siregar, HR. bandaharo dan bahtiar siagan kemudian as. Darta.
Para seniman lekra itu tidak meragukan sama sekali bahwa para seniman mempunyai tugas dan tanggung jawab yang merupakan khidmat terhadap masyarakat dan lebih tepat lagi kepada rakyat yang dianggotainya itu. Jelaslah cita-cita lekra untuk Indonesia pada saat ini. Apa yang dikatakan kemanusiaan universal dan angkatan 45 yang sebenarnya, sesungguhnya adalah sebuah universalisme yang merupakan baju baru bagi l’art pour l’art yang lama itu karenanya merupakan suatu pemlihan yang bertentangan dengan hari esok-sebagaimana yang telah dinyatakan oleh klara akustia (karena nyokong atau menentang)
Di dalam lekra ideology sudah ditempatkan di atas seni. Apa yang penting bagi seniman adalah pemahaman bahwa dirinya – tak berbeda dari kaum politik, ilmuan atau karyawan – terlihat sebagai peserta dalam perjuangan untuk membebaskan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa. Dalam basis seni secara teoritis, lekra selalu menekankan tanggung jawab politik dan moral seniman terhadap rakyat yang menderita, tetapi hamper tidak pernah memasuki masalahnya yang penting, yaitu bagaimana ideology itu harus dituangkan di dalam seni. Suatu karya seni ditimbang atas dasar dampaknya atau dampak yang diperkirakan.
2.5 Tokoh-Tokoh Sastra Lekra
Jumlah pengarang yang mengisi lembaran-lembaran kebudayaan kian hari kian bertambah. Ada nama baru yang untuk pertama kali menulis. Ada pula nama-nama yang sudah terkenal sebagai pengarang yang kemudian masuk lekra. Diantara golongan kedua itu bisa disebut Rijono Pratiknto, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwa Praja, Pramudya Ananta Toer, dan lain-lain. Diantara yang namanya sejak mulai muncul selalu dalam lingkungan lekra adalah A.S. Dharta, Bachtiar Siagian, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risokotta, Zubir Agam Wispi, Kusni Sulang, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S., dan lain-lain.
Penyair lekra diantara yang muda adalah Amarzan Ismail Hamid yang kadang-kadang menulis cerpen dan esai. Tetapi ia tak pernah menerbitkan buku sendiri, kecuali dalam bentuk penerbitan bersama yang banyak dilakukan oleh penerbit lekra berkenaan dengan sesuatu pokok soal yang sedang aktuil.

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Penelitian Kualitatif
Penelitian pada novel yang berjudul bumi manusia karya pramudya ananta toer menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk mendiskripsikan bentuk unsure-unsur sosialis yang ada pada Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer.
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena unsure-unsur sosialis yang ada pada Novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer tersebut dalam proses menganalisis berkaitan dengan unsure sosial masyarakat yang diukur melalui diskripsi.
Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang perilaku orang-orang yang dapt diamati (moloeng, 1989:5)

4.2 Rancangan Penelitian
4.2.1 Sumber Data
Bumi Manusia adalah magnum opus, karya besar Pram yang ditulis saat ia berada di Pulau Buru bersama ribuan orang lainnya yang dituduh menjadi anggota partai terlarang (PKI) pasca dijatuhkannya Soekarno oleh Jend Soeharto dalam sebuah silent coup (kudeta diam-diam).
Roman tetralogi buru mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke 20. dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pererakan nasional.
Roman bagian pertama; bumi manusia, sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priayai yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropaan yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
4.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:
1. Studi Pustaka. Membaca, mencatat dan memberikan tanda tentang kejadian atau tingkah laku yang sesuai dengan metode sosiologi sastra yang terdapat pada novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer
2. Memilih data yang terkait dengan konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin realitas sosial, dan fungsi sosial sastra yang diwujudkan dalam bentuk data yang berupa kutipan
3. Mengumpulkan beberapa informasi dari internet atau literature-literatur yang mendukung variable penelitian yaitu unsure realisme-sosial
4.2.3 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian sastra sifatnya data kualitatif pernyataan-pernyataan proses analisis data kualitatif melewati empat tahap yaitu:
a. Tahap Deskripsi
Pada tahap ini data-data yang telah terkumpul diklarifikasikan, dikategorikan, dan dikodekan kemudian didiskripsikan atau diapaparkan apa adanya.
b. Tahap Analisis
Tahap ini merupakan inti dari metode kualitatif. Pada tahap ini data-data kualitatif dianalisis secara Ilmiah berdasarkan acuan ilmiah pula. Ketetapan memilih acuan yang sesuai serta kemampuan dan keterampilan mengaplkasikan teori ke dalam pokok permasalahnnya yang sesuai serta kemampuan dan keterampilan mengaplikasikan teori dengan hal ini, para peneliti harus luas pengetahuannya (banyak membaca buku) punya kepekaan tinggi dan berlatih meneliti .
c. Tahap Penafsiran
Pada tahap ini peneliti sastra baru menafsirkan adanya kemungkinan-kemungkinan penelitian berdasarkan analisis. Penafsiran yang baik adalah penafsiran yang tidak sekedar berdasakan intuisi penafsiran tetapi penafsiranyang mempunyai pengalaman yang cukup.

d. Tahap Evaluasi
Tahap ini adalah tahap terakhir setiap program studi, yaitu mengevaluasi atau menilai dari seluruh hasil penelitian secara objektif (satoto, 1988:127)

BAB IV
ANALISIS DATA
Menurut Ian Watt sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diperdaya atau tidak bisa diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk pengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat. (Damono, 1978:3)
Dalam penyajian analisis data ini peneliti mendiskripsikan realisme sosialis dari segi:
4.1 Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer.
4.2 Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar
4.3 Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis

4.1 Realisme Sosialis Dilihat Dari Segi Pertentangan Kelas Pada Novel Bumi Manusia Karya Pramudya Ananta Toer.
Dalam novel bumi manusia karya pramudya ananta toer terdapat realisme sosialis dilihat dari pertentangan kelas antara kelas atas (borjuis) dan kelas bawah (proletar). Hal ini dapat dilihat dalam kutipan-kutipan di bawah ini:

“tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke eropa. Benar tidaknya ucapan tuan direktur aku tak tahu. Hanya karena menyenangkan aku cendrung mempercayainya. Lagi pula semua guruku kelahiran sana, dididik di sana pula. Rasanya tak layak tak mempercai guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh masyarakat terpelajar eropa dan indo dianggap terbaik dan tertinggi nilainya di seluruh hindia belanda. Maka aku harus memepercayainya”(11)

Dalam kutipan di atas terdapat pertentang kelas yang menyatakan bahwa orang-orang eropa lebih pintar dari pada orang-orang pribumi pada waktu itu. Orang eropa juga di anggap mempunyai pendidikan yang lebih tinggi di banding orang-orang pribumi. Sehingga pada waktu itu orang-orang eropa menjadi guru sekolah. Dan semua guru pada waktu itu adalah orang-orang eropa. Kutipan lainnya yang menyatakan pertentangan kelas adalah sebagai berikut:

“aku tersinggung aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert surof ini hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang. Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah eropa dalam tubuhku. Sungguh-sungguh dia sedang bikin rencana jahat terhadap diriku”(18)

Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Orang-orang pada saat itu bangga ketika dia mempunyai keturunan darah eropa. Karena derajat di mata masyarakat pada waktu itu aka tinggi di banding dengan orang pribumi. Hal serupa juga dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini:
“rupa-rupanya kau masih anggap aku sebagai jawa yang belum beradap”()
Kutipan di atas menunjukkan jelas kalau masyarakat jawa yang tergolong masyarakat pribumi pada waktu itu di anggap tidak mempunyai adap, tatakrama atau sopan santun. Ukuran kesopanan pada waktu itu adalah orang-orang eropa yang dianggap lebih sopan daripada orang-orang pribumi. Hal tentang pertentangan kelas juga dapat dillihat dari kutipan sebagai berikut:

“ia masih menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama keluargaku. Aku tak punya, maka menybutkan. Ia mengernyit. Aku mengerti: barangkali aku di anggapnya anak yang tidak atau belum diakui ayahnya melalui pengadilan: tanpa nama keluarga adalah indo hina., sama dengan pribumi. Dan aku memang pribumi. Tapi tidak ia tak meuntut nama keluargaku.”(26)

Dari kutipan di atas kita dapat mengetahui betapa terbentangnya pertentangan kelas waktu itu, terutama antara orang eropa dan orang pribumi. Orang eropa menganggap bahwa orang pribumi sama dengan indo hina, orang eropa keturunan pribumi yang tidak di akui oleh orang tuanya yang berdarah eropa. Orang pribumi juga tidak mempunyai nama gelar keluarga sehingga di anggap rendah oleh orang eropa. Kutipan yang lainnya yang menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi dapat dilihat dari kutipan di bawah ini:


“buka putera bupati manapun mama,. dan dengan memulai sebutan nama baur itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap” (35)

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa pada saat itu anak seorang bupati atau anak seorang petinggi lainnya sangat dihormati. Dan hanya anak-anak bupati atau anak-anak petinggi yang bisa sekolah pada saat itu. Pertentangan kelas pada saat itu nampak jelas sekali antara kaum buruh atau golongan kelas bawah (proletar) dan golongan kelas atas (borjuis). Kutipan di bawah ini juga akan membuktikan bahwa terjadi pertentangan kelas pada saat itu yakni:

“…….. orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan pengikat rambut berwarna putih. Semua berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh centimeter di atas sikut. Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan, nampak kain batik di bawah baju putihnya. ….”(43)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam novel tersebut diceritakan bahwa orang-orang yang bekerja atau orang-orang yang bekerja menjadi buruh waktu itu adalah orang-orang pribumi, hal itu tampak pada kalimat “nampak kain batik di bawah baju putihnya” sedangkan kain batik adalah cirri khas orang jawa yang menandakan bahwa orang jawa pada saat itu memang menjadi pekerja atau buruh dalam perusahaan itu. Hal-hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas dalam novel itu dapat di lihat dalam kutipan di bawah ini:

”Annelias bertepuk-teouk dan memperlihatkan dua jari pada siapa aku tahu. Sebentar kemudian datang seorang bocah pekerja membawakan dua buah topi bamboo, sebuah ia kenakan kepalaku, sebuah dikenakannya sendiri.”(44)

Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa seorang bocah sudah menjadi pekerja atau buruh hal itu terdapat dalam kalimat “sebentara kemudian seorang bocah datang membawakan topi” kalimat itu menerangkan bahwa seorang bocah memang sudah bekerja. Hal yang berhubungan dengan pertentangan kelas juga dapat anda lihat dalam kutipan di bawah ini.

“nama minke juga bagus”, kata annelias. “mari pergi kekampung-kampung. Di atas tanah kami ada empat buah kampung. Semua kepala keluarga, penduduk bekerja pada kami.”(53)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa semua penduduk kampung itu tinggal di atas tanahnya dan bekerja kepada Nyi Ontosoroh atau annelias. Perbedaan kelas pada kutipan itu memang sangat mencolok sekali antara tuan tanah sebagai kaum borjuis dan pekerja sebagai kaum proletar. Kutipan di bawah ini juga membuktikan bahwa dalam novel tersebut memang terdapat perbedaan pertentangan kelas. Hal ini dapat dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.

“kowe kira, kalo sudah pakaian eropa, bersama orang eropa, bisa sedikit bahasa belanda lantas jadi eropa? Tetap monyet!”(65)

Kutipan di atas menunjukkan betapa terbentangnya perbedaan kelas dalam novel itu. Minke meski dia memakai pakaian eropa dan berbahasa belanda masih dikatakan monyet hanya karena dia orang pribumi. Di bawah ini juga menunjukkan perbedaan kelas dalam novel tersebut, yakni:

“Robert barang tentu akan membenci aku sebagai pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mallemma tentu akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya. Dan apa yang bisa diperoleh di dunia ini tanpa bea? semua harus dibayar atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan”(100)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa orang eropa sebagai orang yang terpelajar sangat membenci orang pribumi, dia menganggap kalau orang pribumi itu tidak mempunyai harga atau derajat yang sama dengan orang eropa. Hal tersebut juga dibuktikan dalam kutipan dibawah ini yakni terjadinya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi.

“mamamu hanya seorang pribumi, akan tidak mempunyai suatu hak atas semua, juga tidak bisa berbuat sesuatu untuk anakkku sendiri, kau ann. Percuma saja akan jadinya kita bedua membanting tulang tanpa hari libur……”(112)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa orang pribumi memang tidak diakui secara hukum apabila kawin dengan orang eropa, kaum pribumi tidak akan dapat apa-apa. Betapa terbentangnya perbedaan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi.

“sama, kalau begitu kita bias sama-sama pergi berlayar menjelajah dunia. Minke, kau dan aku. Kita bias bikin rencana, buka? Sayang kau hanya pribumi.”(157)

Dalam kutipan di atas sudah jelas minke sebagai orang pribumi tidak dikehendaki bergaul dengan orang-orang eropa. Dia tidak diharapkan bahkan tidak diakui kalau dia bergaul atau berghubungan dengan orang-orang eropa. Semua itu karena perbedaan atau pertentangan kelas antara orang eropa sebagai kaum borjuis dengan orang pribumi sebagai kaum proletar. Di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan kelas, yakni sebagai berikut:

“……… jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa eropa, dan arena memang sahaya belajar kepada mereka”(194).

Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas yakni kelas borjuis yang dianggap tidak memiliki ilmu pengetahuan dengan kelas proletar yakni orang eropa yang dikatakan sebagai orang yagn berilmu dan mempunyai sopan santun. Hal yang berhubungan dengan perlawanan atau perbedaan kelas juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.

“salaman ucapan itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka ayahanda menghemat tangannya dari barang seribu duaratus jabatan para punggawa desa. Mereka tinnggal duduk di atas tikarnya di pelataran sana”(201)

Kutipan di atas menunjukkan terjadi perbedaan kelas antara lurah dan bupati. Para lurah disebutkan tidak layak menjabat tangan bupati. Dalam kuitpan di bawah ini juga terdapat perbedaan atau pertentangan kelas, yakni:

“”minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang jawa seumumnya, mungkin kelak kau bias jadi oraqng penting.kau bias jadi pemuka perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai orang yang terpelajar sudah tahu bangsamu sudah rendah dan hina”(219)

Kutipan di atas menunjukkan terjadinya perbedaan kelas yang menganggap bangsa jawa sebagai orang pribumi dianggap rendah dan hina dibanding dengan orang eropa sebagai kaum proletar. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan atau perbedaan kelas antara kaum proletar dan kaum borjuis, yakni:

“baik. Jadi kau membenci minke hanya karena dia pribumi dank au berdarah eropa. Baik. Memang aku mampu mengajar dan mendidik kau. Hanya orang eropa yang bias lakukan itu untukmu…….”(236)

Kutipan di atas menunjukkan tentang perbedaan kelas kalau Robert membenci minke hanya karena minke orang pribumi dan Robert orang eropa. Perbedaan dan pertentangan seperti itu juga terdapat dalam kutipan dibawah ini, yakni:

“……. Tuan telah mempelajari adab eropa selama ini, tentu tuan tau perbedaan antara sikap pria eropa dan pria pribumi terhadap wanita. Kalau tuan sama dengan pria jawa pada umumnya, anak ini tak akan berumur panjang….”(302)

Kutipan di atas menunjukkan perbedaan kelas antara orang pribumi dan orang eropa. Orang eropa dianggap lebih halus sifatnya disbanding dengan orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan tentang perbedaan antara orang pribumi dan orang eropa, yakni sebagai berikut:

“bagaimana pendapatmu sendiri? Mungkin kiranya pribumi bias jadi sarjana dalam keilmuan eropa? Terus terang, Papa sebenarnya meragukan. Kata papa-dan kau jangan gusar seperti dulu-kejiwaan pribum belum berkembang setinggi eropa; terlalu mudah pertimbangannya ayng baik terdesak oleh rangsang berahi……..”(330)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa bangsa pribumi jauh disbanding bangsa eropa tentang ilmu pengetahuannya. Sehingga bangsa eropa lebih menjadi terhormat disbanding dengan bangsa pribumi sendiri. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan bahwa terjadi perbedaan atau pertentangan kelas antara bangsa eropa sebagai borjuis dan bangsa pribumi sebagai bangsa proletar.

“seorang eropa, eropa totok, telah membeli diriku dari orang tuaku.” Suarnya pahit mengandung dendam yang tak bakal tertebus dengan lima istana. “aku dibeli untuk dijadikan induk untuk anak-anaknya”(341)

Dalam kutipan di atas menunjukkan kalau dalam novel tersebut memang terdapat perbedaan kelas antara orang-orang eropa dengan orang pribumi. Orang eropa sebagai borjuis dan orang pribumi sebagai proletar sehingga orang pribumi yang kebanyakan gila harta mudah dipengaruhi dan mudah dibeli oleh orang eropa seperti harga dirinya atau bahkan anaknya untuk dijadikan gundik atau nyai. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan tentang perbedaan atau pertentangan kelas, yakni sebagai berikut:

“tak bisa mereka melihat pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah, orang eropa harus bersih, jadi pribumipun sudah salah. Dilahirkan sebagai pribumi sudah lebih salah lagi. Kita menghadapi keaadaan yang lebih sulit minke anakku….”(413)

Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas antara orang pribumi dengan orang eropa, orang eropa dikatakan bersih, sedangkan orang pribumi selalu salah dan akan diinjak sampai penyek. Orang eropa pada waktu itu mnenganggap dirinya paling benar dan paling terhormat. Dalam kutipan di bwah ini juga terdapat perbedaan atau pertentangan kelas yakni:

“mama ada di pihakmu, kata wanita itu, tapi di depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi orang eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apa lagi soallnya pribumi menggugat eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga”(414)

Kutipan di atas menunjukka adanya pertentangan kelas antara orang eropa dengan orang pribumi, dikatakan dalam novel tersebut kalau orang eropa akan menang, karena hakim dan jaksa tidak akan berpihak pada orang pribumi. Dia lebih berpihak pada orang eropa. Pertentangan kelas seperti di atas juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“dan tuan di bawah kerajaan-kerajaan pribumi, rakyat tuan tidak pernah mendapatkan keamanan dan ketausaan, tidak mendapat perlindungan hokum, karena memang tidak ada hokum,. Kurang baik apa pemerintah hindia belanda? Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang India…”(439)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Di mana orang pribumi yang tidak di akui mempunyai hokum, berbeda dengan orang eropa yang dijunjung tinggi oleh hokum dinegeri ini. Kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan kelas, yakni sebagai berikut:

“para orang tua dan wali murid telah duduk berbanjar. Semua; totok, indo, beberapa orang tionghoa, dan tak pribumi barang seorangpun”(444)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas terutama dalam sekolah itu. Yang boleh sekolah disitu hanya orang-orang eropa dan skutunya. Sedangkan kaum pribumi tidak bisa sekolah di sana. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pertentangan kelas dalam novel tersebut, yakni:

“apa yang kau sahayakan? Nenek moyangmu dulu, raja-raja jawa itu, semua menulis jawa. Malu kau kiranya kau jadi orang jawa? Malu kau tidak jadi belanda?”(461)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Betapa rendahnya pribumi di mata orang eropa. Mereka menganggap orang pribumi tidak punya sopan santun seperti orang eropa. Dalam kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya pertentangan atau perbedaan kelas yakni:

“…….dia bilang annelias mallemma berada di bwah hukum eropa, nyai tidak. Nyai hanya pribumi. Sekiranya dulu jurrof annelias mallemma tidak diakui tuan mallemma, dia pribumi dan pengdilan putih tidak punya sesuatu urusan”(488)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas. Kalau orang pribumi tidak diakui dan tidak mempunyai hokum yang jelas sehingga orang eropa dapat bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perbedaan pertentangan kelas, yakni:

“akhir-akhirnya, katanya kemudian dengan suara rendah”persoalannya tetap eropa terhadap pribumi, minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa …. Hanya kulitnya yang putih” Ia mengumpat, hatinya bulu semata” (489)

Kutipan di atas menunjukkan adanya pertentangan kelas antara orang eropa dan orang pribumi. Dimana orang eropa selalu bertindak sewenang-wenang terhadap orang pribumi, dan sering menyakiti orang pribumi.

4.2 Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar
Kaum proletar yang berkuasa atau selalu menjadi tuan atau majikan tidak selamanya membedakan diri atau memisahkan diri dari kaum borjuis yang selalu menjadi buruh pekerja. Hal itu terjadi dalam keluarga nyi ontosoroh dan annelias yang selalu dekat dan kerap membela hak pekerja. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan sebagai beikut:

“annelias mendekati mereka seorang demi seorang dan mereka memberikan tabik, tanpa bicara,hanya dengan isyarat….” (44)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa annelias dekat dengan para pekerja, dia tidak segan-segan menyapa para pekerjanya walau dia sendiri menjadi Tuan atau anak dari pemilik perusahaan itu. Hal tentang kedekatan antara kaum proletar dan kaum borjuis juga di buktikan dalam kutipan di bawah ini.

“Mereka boleh berlibur kalau suka. Mama dan aku tak pernah berlibur. Mereka pekerja harian”(45)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa seorang majikan seperti annelias dan mamanya memberi kebebasan pada pekerjanya untuk berlibur. Mereka tidak mengekang pekerjanya untuk bekerja terus. Kedekatan antara kaum borjuis dengan proletar juga ditunjukkan dalam kutipan di bawah ini:

“juga di sini terdapat pekerja-pekerja wanita. Hanya tidak berbaju kera. Orang-orang memberikan tabik dengan membungkuk dengan mengangkat tangan pada kami berdua. ….”(46)

Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara pekerja dengan annelias esbagai tuannya, mereka tidak segan-segan menyapa tuannya yang lewat dekat mereka. Dalam kutipan di bawah ini juga membuktikan kedekatan antara kaum proletar dan kaum borjuis.

“beberapa orang perempuan menahan annelias dan mengajaknya bicara, minta perhatian dan bantuan. Dan gadis luar biasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah……………“(54)

Kutipan di atas menunjukkan betapa baiknya annelias kepada semua masyarakat yang ada di sekitarnya. Meski dia sebagai tuan tanah dia masih tetap berhubungan dengan masyarakat sekitarnya. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan bahwa dalam novel tersebut terdapat kedekatan antara kaum borjuis dan kaum proletar.

“…….. kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi orang yang hanya semata karena urusan perusahaan, membikin aku tak bisa membanding-banding……”(113)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa betapa dekat dia dengan pekerjanya, dengan pelanggan-pelanggannya. Bahkan dia tidak tahu keadaan di luar karena dia terlalau sibuk berurusan dengan pelanggan atau dia terlalu sibuk atau lebih dekat dengan kaum buruh sebagai pekerjanya dengan dunia luar terutama masyarakatnya. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan terjadinya kedekatan antara kaum borjuis dengan kaum proletar.

“.pernah aku bertanya padanya, apa wanita eropa diajar sebagaimana aku diajar sekarang ini? Tahu kau jawabannya? “kau lebih mampu daripada rata-rata mereka, apalagi yang peranakan”’(134)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan mallema sebagai orang eropa dia tetap mengakui kalau nyi ontosoroh sebagai seorang pribumi memang lebih pintar dalam hal apapun di banding dengan wanita eropa lainnya apalagi dengan peranakan eropa. Hal ini juga terdapat dalam kutipan dibawah ini yakni kedekatan atau pembelaan kaum borjuis dengan kaum proletar, yakni:

“tak mungkin kau seperti wanita belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti yang sekaran. Biar begitu kau lebih cerdas dan lebih baik daripada mereka semua. Semua” ia tertawa mengakak”(136)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan mallema telah membela kaum pribumi yakni nyi ontosoroh. Dia mengatakan bahwa Nyi Ontosoroh sebagai orang pribumi lebih pintar atau lebih cerdas daripada wanita eropa. Kedekatan atau pembelaan kaum borjuis terhadap kaum proletar juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.

“nyai, kecuali baca tulis, semua sudah darsam kerjakan” ia bicara dalam bahasa madura. Aku tak menjawab. Aku tak pikirkan urusan perusahaan. Aku tetap bergolek diranjang memeluk bantal. “jangan nyai kuatir. Semua beres. Darsam ini, nyai percayalah padanya” ternyata dia memang bias dipercaya.”(149)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa darsam sebagai pengawal nyi ontosoroh sangat setia kepada nyai. Hal itu diseb abkan karena kedekatannya selama ini yang dilakukan oleh nyai kepada semua karyawan-karyawannya terutama darsam sebagai pengawal pribadinya sehingga darsam setia dan diberi kepercayaan oleh nyi onotosoroh. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan kedekatan atau pembelaan proletar terhadap borjuis.

““tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri pekerjaan ini. Tuan muda sabar saja”(230).

Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara Nyi ontosoroh dan darsam sebagai pengawal pribadinya. Darsam melakukan itu semua agar nyi ontosoroh yang sebagai tuannya tidak terlalu banyak memikirkan masalah yang ditimbulkan oleh anak dan suaminya. Kutipan di bawah ini juga membuktikan kedekatan antara majikan dengan anak buahnya atau pembantunya.

“lagi pula ternyata Nyai bukan wanita sembarangan. Dia tyerpelajar, Jean. Aku kira wanita pribumi yang terpelajar yang pertama kali kutemui dalam hidupku. Mengagumkan jean. Lain kali akan kubawa kau ke sana, berkenalan. Kita akan bawa may. Dia akan senang di sana”(273)

Kutipan di atas menunjukkan pembelaan minke kalau tidak semua nyai berwatak hina dan rendah seperti yang diperkirakan orang lain. Dalam kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya kedekatan antara kaum borjuis dengan kaum proletar.

“…………dia perintahkan membunuhtuan muda? Dan aku bilang padanya: majikanku nayi dan noni; orang yang mereka sukai aku sukai; kalau sinyo menghendaki terbunuhnya tuan muda, sebaiknya sinyo sendiri yang kutebang; kau bukan majikanku; awas, aku cabut parang, dan dia lari…”(394)

Kutipan di atas menunjukkan kedekatan antara nyai dan noni terhadap pengawal pribadinya yakni darsam sehingga darsam setia dan patuh pada nyai dan noni. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya kedekatan antara majikan dan pembantu, yakni:

“mulai kapan nyai tidak percaya sama darsam? Ia seka kumisnya dengan punggung lengan”(397)

Kutipan di atas menunjukkan pembelaan darsam sebagai pengawal pribadi dari majikannya yakni Nyi Ontosoroh yang curiga terhadap tingkah laku darsam. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan pembelaan pegawai atau pembantu terhadap majikannya.

“sepanjang perjalanan magda peters berkicau tentang kebanggaannya punya seorang murid seperti aku. Dan aku sendiri merasa terbelai setelah pengalaman menggebu selama ini”(433)

Kutipan di atas adalah pembelaan bangsa eropa terhadap bangsa pribumi yang bangga kepada minke sebagai muridnya dari bangsa pribumi. Dia memuji minke sehingga dia merasa terbelai setelah cukup lama dia menghadapi pengalaman yang menggebu. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya kedekatanatau pembelaan terhadap orang-orang pribumi.

“sebagai upacara perpisahan tuan direktur menyerahkan padaku surat-surat dari Miriam dan sarah de la croix tanpa prangko”(436)


Kutipan di atas adalah pembelaan kum eropa yakni Miriam dan sarah de la croix yang membela minke. Dia memperotes pemecatan minke dan dia mengatakan kalau minke sebenarnya bukan harus di pecat tapi dibantu. Sehingga sekolah memanggil minke lagi untuk dimasukkan lagi dalam sekolah. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya kedekatan atau pembelaan antara kaum borjuis yakni orang-orang eropa terhadap orang pribumi.

“kami dinikahkan secara islam, darsam bertindak sebagai saksi dan sekaligus wali menurut hukum islam bagi annelias. Itu terjadi pada jam sembilan pagi tepat….”

Dalam kutipan di atas darsam yang selama ini menjadi pengawal pribadi dari nyai, dia di percaya menjadi saksi atau bahkan wali dari annelias, sungguh kepercayaan yang mungkin tidak akan dilupakan oleh darsam. Itu dilakukan nyai karena kedekatannya dengan pengawal pribadinya yakni darsam. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan kedekatan antara majikan dengan pesuruh, yakni:

“lukisan itu, ia menerangkan tak lain darigambar seorang pribumi yang memang luar biasa untuk jamannya, nyai ontosoroh, seorang wanita cerdas, ibu pengantin wanita dan mertua tuan minke.ia seorang pribadi yang cemerlang, seorang nahkoda yang tak bakal membiarkan kapalnya rusak di tengah pelayaran, apalagi tengelam”(469)

Kutipan di ats menunjukkn adanya pembelaan dari bangsa eropa terhadap nyi ontosoroh sebagai orang pribumi yang dianggap luar biasa oleh orang eropa.

4.3 Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, dia dibekali pikiran, perasaan, marah bahkan nafsu. Dengan modal itulah siapapun akan melawan terhadap ketertindasan yang dilakukan oleh sesama manusia, terutama kaum borjuis yang semena-mena menghina dan menginjak-injak kaum proletar yang umumnya adalah masyarakat pribumi. Hal tersebut dapat dilihat dalam novel bumi manusia, yakni perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:

“sekarang sedang ada pesta besar,” kataku. Mengapa mereka tidak di beri libur”(45)

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa kata “mereka “ adalah kaum buruh, dalam kutipan di atas menunjukkan pembelaan terhadap kaum buruh agar di beri kebebasan untuk libur. Minke yang mengatakan itu ingin membela kaum proletar agar juga di beri hari libur.Pembelaan atau perlawanan kelas kaum proletar dan kaum borjuis juga terdapat dalam kutipan di bawah in:

“dalam satu tahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus golden. Kalau pada suatu kali tuan mallemma pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja”(129)

Dalam kutipan di atas menunjukkan kepintaran dari sang nyai ontosoroh sebagai seorang pribumi, dia berbuat demikian sebagai perlawanan kepada tuan mallema apabila suatu saat dia diusir dia sudah siap karena dia sudah mempunyai modal yang cukup. Perlawanan kaum proletar terhadap kaum borjuis juga ditunjukkan dalam kutipan dibawah ini.


“ucapan yang hanya patut di dengar di rumah mallemma hammers dan anaknya” tangkisku dalam belanda”(145)

Kutipan di atas adalah kata-kata yang keluar dari Nyi Ontosoroh karena dia telah dihina oleh anak shah dari suaminya yakni tuan mallema. Di melakukan atau mengatakan itu karena dia sudah tidak kuat menahan hinaan yang diterimanya. Dia sebagai orang pribumi dihina oeh orang eropa. Oleh karena itu dia melawan kepada maurits mallema yang tak lain adalah anak sah dari tuan mallema. Di bawah ini juga terdapat bukti tentang perlawanan kaum proletar terhadap kaum bojuis atau orang eropa.

“pergi” raungku. Dia tetap tidak menggubris aku.”bikin kacau rumah tangga orang. Mengaku insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya” (146)

Dalam kutipan di atas adalah perlawanan dari Nyi Ontosoroh yang mengusir orang eropa karena dia telah menginjak-nginjak harga dirinya hanya karena dia sebagai seorang nyai. Dia berani melawan maurits mallemma untuk keluar dari rumahnya karena kekurangajarannya terhadap keluraga Nyi Ontosoroh. Perlawanan orang pribumi yang digambarkan sebagai kaum proletar terhadap orang eropa yang juga digambarkan sebagai kaum borjuis juga terdapat dalam kutipan di bawah ini.

“jadi begitu macamnya anak dan istrimu yang syah” raungku pada tuan. “begitu macamnya peradaban eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun? Kau agungkan setinggi langit? Siang dan malam? Menyelidiki pedalaman rumah tangga orang, menghina, untuk pada suatu kali dating memeras? Memeras? Apalagi kalau bukan memeras? Untuk apa menyelidiki urusan orang lain?”(147)

Kutipan di atas menunjukkan perlawanan Nyi Ontiosoroh sebagai orang pribumi dia melawan kepada orang eropa yakni suaminya sendiri,karena anaknya yang dating sudah menghancurkan rumah tangganya. Dia mengatakan kalau kesopanan orang eropa yang selama in diagung-agunkan ternyata hanya untuk memeras. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan orang pribumi terhadap orang eropa.

“kau memang sudah bukan jawa lagi. Dididik belanda jadi belanda, belada coklat semacam ini. Barangkali kaupun sudaqh masuk Kristen”(193)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ibunda dari minke mengigatkan minke agar jangan sampai terpengaruh kepada budaya belanda atau jangan sampai pindah agama menjadi agama Kristen seperti yang di anut orang belanda. Hal itu dilakukan untuk membela anaknya agar tidak tejerumus pada kebudayaan belanda. Anaknya sebagai orang jawa diingatkan agar tidak lupa terhadap budaya jawa. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya pembelaan antara orang pribumi terhadap orang eropa.

“lagu kebangsaan belanda, willbelmus, dinyanyikan. Orang berdiri. Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian terbesar memang tidak bias. Pribumi hanya seorang dua. Yang lain-lain hanya bias terlongok-longok mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu persaan itu”(199)

Kutipan di atas menunjkkan bahwa orang pribumi tidak suka terhadap lagu kebangsaan belanda yang dinyanyikan. Oleh karena itu banyak orang yang menyumpahi lagu itu yang mengganggu telinga. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan tentang perlawanan kaum borjuis, seperti:

“tapi daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk mama dan kau. Kan ketentuan itu harus juga dihormati?” dan masih barnag dua puluh kalimat lagi kuucapkan”(333)

Kutipan di atas menunjukkan adanya perlawanan antara minke sebagai seorang pribumi kepada annelias sebagai seorang bangsa eropa. Minke menolak untuk tinggal diloteng, di mana tempat itu adalah larangan untuk semua orang agar ti9dak boleh masuk ke sana kecuali Nyai dan annelias. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan perlawanan atau pembelaan bangsa pribumi terhadap bangsa eropa.

“seperti dongeng seribusatu malam. Coba, ia merasa lebih tepat di panggil Nyai. Aku kira hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan pribumi lebih tepat untuk gundik seorang bukan pribumi. Dia tidak suka diberlakukan , manis-manis. Dia tetaap mengukuhi tentang keadaan dirinya-dengan kebesaran ditaburi dendam”(346)

Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya perlawanan Nyai yang bersikukuh kalau dia lebih tepat dipanggil seorang Nyai. Dia tidak suka diberlakukan manis-manis seperti umunya seorang wanita eropa. Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya sebagai seorang nyai hanya untuk membenarkan dendamnya. Kutipan dibawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan antara kaum borjuis dan proletar.

“tapi mama bukan pembenci eropa. Dia banyak urusan dengan orang eropa, malah dengan orang-orang ahli, seperti tuan sendiri. Dia malah membacai pustaka eropa”(371)

Dalam kutipan di atas menunjukkan terjadinya pembelaan minke terahadap mamanya yaitu nyai ontosoroh yang orang pribumi atau sebagai kaum proletar yang dikatakan memebnci eropa. Padahal pada kenyataannya Nyai ontosoroh tidak membenci orang eropa, bahkan dia berurusan dengan orang eropa atau dia sering baca pustaka eropa. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan antara orang pribumi dengan orang eropa.

“ya, waktu mulai jadi sinting juga, sambung nyai, juga seperti pertama kali tuan jadi begitu. Jangan mendekat ann, jangan”(403)

Dalam kutipan di atas menunjukkan perlawanan Nyi ontosoroh yang maasih menaruh rasa benci kepada tuan mallemma sehingga untuk dekat dan menyentuhpun di tidak mau meski tuan mallemma sudah mati. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan adanya perlawanan antara orang pribumi dengan orang eropa, yakni sebagai berikut:

“cuti seminggu dari sekolah kupergunakan untuk menulis, membantah berita-berita tak benar dan bersirat……”(409)

Kutipan di atas adalah pembelaan dari minke kalau dia tidak bersalah dalam pebunuhan itu. Dalam kutipan di bawah ini juga menunjkkan adanya pembelaan yakni sebagai berikut:

“siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka menjadi nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinankan? Apa tuan-tuan menghendaki anakku juga jadi gundik?”(427)

Dalam kutipan di atas menunjukkan adanya pembelaan antara nyai sebagai orang pribumi terhadap forum resmi yakni persidangan yang lebih memihak kepada orang-orang eropa, lebih membela orang eropa. Sehingga Nyai melawan dengan mengeluarkan kata-kata seperti kutipan di atas. Kutipan yang melambangkan perlawanan kaum pribumi juga terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“biarpun tnapa ahli hokum. Kita akan jadi pribumi pertama yang akan melawan pengadilan putih, nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga”(494)

Dalam kutipan di atas adalah upaya pribumi yang akan melawan pengadilan putih yang merupakan tempat pengadilan orang eropa dan tentu saja pengadilan putih itu akan lebih berpihak pada eropa. Kutipan di bawah ini juga menunjukkan perlawanan antara kaum pribumi dengan orang eropa.

“keputusan pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan. Serombongan orang madura, bersenjata parang dan sabit besar, clurit, telah mengepung rumah kami, menyerang orang eropa dan hamba negerinya yang berusaha memasuki pelataran kami”(511)

Kutipan di atas jelas merupakan perlawanan orang pribumi terhadap orang eropa. Mereka marah setelah selama ini harga diri mereka di injak-injak. Mereka bertarung tanpa mempunyai perasaan taku lagi.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel sebagai periode penyamaian dan kegelisahan di mana minke sebagai actor sekaligus creator adalah manusia berdarah priyayi yang semampu mungkin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia yang bebas merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-eropa-an yang menjadi symbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban.
Berdasarkan analisis data di atas maka kami sebagai penulis dapat menyimpulkan bahwa realisme sosialis dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer yakni bisa dilihat menjadi:
1. Realisme sosialis dilihat dari segi pertentangan kelas pada novel bumi manusia karya Pramudya Ananta Toer yakni sebanyak 46,55 %
2. Realisme Sosialis Dilihat Dari Kedekatan Atau Pembelaan Kaum Borjuis Terhadap Kaum Proletar yakni sebanyak 27,59 %
3. Realisme Sosialis Dilihat Dari Perlawanan Kaum Proletar Kepada Borjuis yakni sebanyak 25,86 %
Demikian kesimpulan kami, semoga bisa menjadi acuan yang berguna baik bagi manusia yang kini tinggal dalam bumi manusia. Apabila ada kesalahan baik dalam penulisan atau yang lainnya kami selaku penulis mohon maaf tiada batasnya. Sekian dan terima kasih.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ijin nyomot buat bahan bacaan

Iwan Sugianto mengatakan...

silakan, terimakasih sudah mengunjungi blog saya